Jumat, 16 Oktober 2009

uu guru dan korupsi

The Best Business
Makalah Gratis
Unbari
Unja
UU GURU DAN KORUPSI
Pemerintah dianggap belum memberikan apresiasi yang baik kepada guru. Kontribusi penting bagi pendidikan nasional hanya "dihargai" dengan gelar "pahlawan tanpa tanda jasa", yang kemudian malah membuat susah karena menjadi legitimasi bahwa guru tidak berhak mendapat penghargaan materi yang layak.
Undang-undang mengenai guru yang diharapkan bisa menjadi jawaban ternyata mengecewakan. Perlakuan pemerintah terhadap guru nonpegawai negeri sipil masih diskriminatif. Setidaknya ini tergambar dari pemberian tunjangan fungsional dalam bentuk subsidi yang jumlah dan waktunya tidak jelas. Selain itu, urusan penggajian masih didasari perjanjian kerja.
Pasal 15 ayat 2 menyatakan bahwa tunjangan fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat 1, bagi guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat, diberikan dalam bentuk subsidi oleh pemerintah dengan mengacu pada peraturan perundang-undangan. Ayat 4 menyebutkan bahwa gaji guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat diberikan berdasarkan perjanjian kerja dan/atau kesepakatan kerja bersama.
Padahal peningkatan kesejahteraan guru memiliki peran penting dalam usaha memperbaiki pendidikan, yang sedang terpuruk. Bank Dunia memberikan rekomendasi bahwa apa pun usaha yang diluncurkan untuk meningkatkan mutu guru guna memacu mutu pendidikan tidak akan berpengaruh maksimal jika kesejahteraan tidak terpecahkan (Suroso, 2002).
Selain itu, peningkatan kesejahteraan bisa berdampak positif pada usaha pemberantasan korupsi di sekolah. Sebab, korupsi yang dipraktekkan guru umumnya didorong faktor kebutuhan (corruption by need). Untuk menyiasati kecilnya gaji, mereka mengutip berbagai biaya ekstra dari murid, seperti menjual soal ujian atau mengadakan kegiatan ekstrakurikuler.
Korban korupsi
Berkaitan dengan korupsi, sangat menarik melihat posisi guru. Pada satu sisi, masyarakat menempatkan mereka sebagai aktor utama di balik mahalnya biaya sekolah. Namun, di sisi lain, guru kerap "dikerjai" pejabat di atasnya, seperti gaji atau honor kegiatan dipotong tanpa alasan. Gambaran tersebut memberikan penjelasan bahwa sebenarnya guru merupakan pelaku sekaligus korban korupsi. Namun, dua posisi tersebut tidak berdiri sendiri karena yang menjadi penyebab guru melakukan korupsi adalah korupsi atau perlakuan tidak adil pejabat di atasnya.
Setidaknya ada tiga kondisi yang bisa menjelaskan hal itu. Yang pertama adalah kenyataan bahwa pendapatan yang diterima guru tidak lebih besar dibanding pengeluaran untuk mendukung proses belajar-mengajar. Sebagai contoh, sewaktu penulis mengajar di salah satu sekolah menengah pertama swasta di Jakarta, biaya yang dikeluarkan setiap kali datang dan membuat persiapan mengajar mencapai Rp 45 ribu, belum termasuk makan. Sedangkan bayaran mengajar Rp 10 ribu per jam. Karena mengajar dalam seminggu hanya enam jam, total pendapatan yang diterima Rp 60 ribu setiap bulan.
Jika dihitung datang ke sekolah seminggu sekali, total pengeluaran dalam satu bulan mencapai Rp 180 ribu (4 minggu dikali Rp 45 ribu), padahal gaji hanya Rp 60 ribu. Jadi setiap bulan defisit Rp 120 ribu. Alternatif menutup defisit dan kebutuhan hidup adalah mencari dana ekstra dari siswa atau ngobyek di tempat lain, bisa di sekolah, bisa juga di pangkalan ojek.
Kedua, guru bukan penentu kebijakan di sekolah. Umumnya guru diposisikan hanya sebagai pengajar yang bertugas "mentransfer" pengetahuan kepada murid, sedangkan dalam penentuan kebijakan akademis apalagi finansial sering diabaikan. Hasil penelitian Indonesia Corruption Watch pada beberapa kota di Indonesia secara umum menunjukkan bahwa guru tidak mengetahui kebijakan apa saja yang digulirkan sekolah. Bahkan banyak yang mengaku belum pernah melihat bentuk anggaran pendapatan dan belanja sekolah (APBS) di sekolahnya.
Padahal keuangan sekolah, baik bersumber pada pemerintah, orang tua murid, maupun pihak lain, dicantumkan dalam APBS. Karena itu, agar bisa melakukan korupsi, terlebih dulu mesti mengetahui APBS. Dengan demikian, guru, yang umumnya tidak ikut merencanakan dan mengelola keuangan, kecil kemungkinan menjadi aktor di balik maraknya korupsi di sekolah.
Ketiga, guru merupakan "mata rantai" terlemah di antara penyelenggara pendidikan lain sehingga selalu menjadi korban "mata rantai" yang lebih kuat, seperti kepala sekolah dan pejabat dinas pendidikan. Selain guru menjadi korban "obyekan" atasan, porsi anggaran atau pendapatan yang diperoleh pun biasanya kecil. Penelitian Indonesia Corruption Watch pada APBS beberapa sekolah di Jakarta dan Tangerang memperlihatkan bahwa alokasi anggaran untuk guru tidak mencapai setengah porsi untuk kepala sekolah.
Tergantung guru
Secara ekonomi, penikmat hasil korupsi bukanlah guru. Nasibnya seperti istilah "orang lain yang makan nangka, tapi guru yang terkena getahnya". Stigma biang keladi korupsi di sekolah membuat citra guru jatuh di hadapan orang tua dan murid. Padahal tuntutan profesinya bukan hanya kemahiran dalam menyampaikan materi pelajaran, tapi juga keterampilan untuk menjadi contoh. Guru korup adalah guru buruk dan guru buruk tidak bisa dijadikan contoh.
Karena itu, guru sebenarnya memiliki kepentingan ikut memberantas korupsi, khususnya di sektor pendidikan. Sebab, selain dapat mengembalikan citra, apa yang mereka lakukan akan menjadi pembelajaran sangat efektif, tidak hanya bagi murid, tapi juga bagi masyarakat umum. Usaha memberantas korupsi bisa diawali dengan perjuangan memperbaiki nasib guru sendiri. Peluang tersebut sangat terbuka dengan mendorong agar Undang-Undang Guru sesuai dengan tujuan awal: mengangkat harkat dan derajat guru. Walau undang-undang itu sudah disahkan, peluang perbaikan belum tertutup. Selamat berjuang.
PETAKA PENDIDIKAN NASIONAL
Dua kali ujian nasional (UN) tahun 2006 memberi kejutan. Pertama, ketika angka kelulusan melonjak luar biasa. Pada tingkat sekolah menengah atas (SMA), dari 80,76 persen naik menjadi 92,50 persen, madrasah aliyah (MA), dari 80,73 persen menjadi 90,82 persen. Adapun untuk sekolah menengah kejuruan (SMK), dari 78,29 persen menjadi 91,00 persen (Kompas 20/6). Kedua, pengakuan guru dan murid dari berbagai daerah bahwa mereka telah melakukan dan menyaksikan kecurangan dalam penyelenggaraan UN.
Bagian pertama menjelaskan hasil, bagian kedua menjelaskan proses. Hasil UN yang gilang gemilang dan terlanjur membuat bangga pemerintah ternyata didapat dari proses manipulatif. Karenanya para guru yang mengetahui proses mengingatkan pemerintah agar tidak menjadikan tingginya prosentase kelulusan sebagai indikator peningkatan mutu pendidikan nasional.
Para guru bukannya tidak mengetahui resiko atas apa yang dilakukannya, tapi nurani mereka berontak. Selama empat kali pelaksanaan UN, harus diam dan terus membodohi diri sendiri hanya untuk memuaskan kepentingan atasan.
Apa yang mereka ungkapkan sungguh mencengangkan, karena proses manipulasi dilakukan secara sistemik. Ada tiga modus yang digunakan dan ketiganya memposisikan guru sebagai ‘operator’. Pertama, jawaban dibuat pada saat ujian. Biasanya dilakukan oleh tim, yang berisi guru bidang studi. Proses distribusi jawaban bervareasi, ada yang menggunakan handphone (HP), seperti terjadi di Cilegon. Dalam satu kelas, satu atau dua murid dijadikan sebagai simpul. Mereka bertugas menerima dan membagikan jawaban kepada yang lain melalui kode tertentu. Ada pula yang memakai kertas kecil atau ‘kertas unyil. Murid mengambilnya ditempat yang sudah disepakati dengan tim.
Kedua, tim bekerja pasca-UN. Murid diminta untuk mengosongkan jawaban yang nantinya akan diisi tim. Ada juga yang membiarkan murid menjawab, tapi kemudian tim membetulkan. Ketiga, pembocoran soal dan jawaban. Sebelum UN dimulai, murid telah diberi jawaban.
Kesalahan tidak bisa sepenuhnya dilimpah pada sekolah atau daerah. Sebab, sumber masalahnya ada pada kebijakan UN. Melalui UN, pemerintah telah melakukan re-sentralisasi pendidikan, padahal di sisi lain, pelayanan dan pembiayaan cenderung di-desentralisasi.
Dasar re-sentralisasi adalah asumsi bahwa biang keladi buruknya mutu pendidikan karena guru dan murid malas belajar. Agar mereka rajin, maka penentuan kelulusan harus diambilalih. Padahal pemerintah sendiri telah gagal dalam menjalankan kewajiban menyediakan layanan pendidikan bermutu, yang membuat guru dan murid tidak nyaman dalam menjalankan proses belajar mengajar.
Melalui kebijakan UN, daerah dan sekolah dipaksa membenarkan asumsi pemerintah. Akan tetapi kondisinya tidak memungkinkan untuk memenuhi tuntutan tersebut. Karena itu dipilih cara instan yaitu dengan melakukan manipulasi. Apalagi, hasil UN juga mempertaruhkan citra daerah dan sekolah.
Dengan demikian, UN sudah menjadi alat untuk mencapai kepentingan politik. Satu sisi bisa memuaskan kebutuhan pemerintah pusat, pada sisi lain mempermanis wajah birokrasi daerah supaya dianggap berhasil memajukan pendidikan.
Pada akhirnya, kebijakan UN kontraproduktif bagi pendidikan nasional. Tujuan yang ingin dicapai gagal total, sedangkan yang didapat hanyalah masalah. Kecurangan sistemik telah mengaburkan pemetaan mengenai kondisi pendidikan di daerah-daerah. Selain itu, semangat belajar dan bekerja keras para murid turun drastis.
Dampak paling berbahaya adalah tertanamnya mental terabas di kalangan murid. Lewat kecurangan, mereka secara tidak langsung telah diajari agar tidak lagi menghargai proses. Cara apapun boleh digunakan, halal ataupun haram, asalkan tujuan bisa tercapai.
Solusinya, tidak hanya cukup dengan memberi sanksi pada daerah atau sekolah yang curang. Tapi juga menghilangkan akar masalah yaitu UN. Pemerintah harus mulai merubah mental terabas dengan mental kerja keras. Apabila menginginkan mutu pendidikan bagus, maka harus dimulai dengan memberi pelayanan yang bagus pula.

Artikel Yang Perlu Anda Baca



0 komentar: