Selasa, 12 Januari 2010

CONTOH PROPOSAL

The Best Business
Makalah Gratis
Unbari
Unja



B. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Dewasa ini pembangunan di Indonesia antara lain diarahkan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Sumber daya manusia yang berkualitas sangat diperlukan dalam pembangunan bangsa khususnya pembangunan di bidang pendidikan. Dalam era globalisasi ini, sumber daya manusia yang berkualitas akan menjadi tumpuan utama agar suatu bangsa dapat berkompetisi. Sehubungan dengan hal tersebut, pendidikan formal merupakan salah satu wahana dalam membangun sumber daya manusia yang berkualitas.
Dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan pemerintah Republik Indonesia menempuh berbagai kebijakan dengan melakukan perubahan dalam bidang kurikulum, peningkatan kemampuan guru serta penambahan sarana dan prasarana yang mendukung berlangsungnya kegiatan belajar mengajar.
Namun usaha pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan ternyata belum dapat tercapai sepenuhnya di setiap sekolah. Hal ini bisa dilihat dari masih rendahnya hasil belajar fisika siswa, seperti terjadi di SLTP Negeri 14 kota Jambi, dimana masih rendahnya rata-rata nilai ulangan harian kelas I semester 1 tahun ajaran 2007/2008, seperti tertera pada tabel 1.
Tabel 1. Rata-rata nilai mata pelajaran fisika siswa kelas I SLTP Negeri 14 Kota Jambi pada semester II tahun ajaran 2006/2007
Kelas
Semester 1
Semester 2
1a
1b
1c
1d
1e
5,6
5.8
5,7
5,8
5,4
5,5
5,7
5,8
5,6
5,4
Sumber : Guru fisika kelas 1 SLTP N SLTP Negeri 14 Kota Jambi Kota Jambi
Berdasarkan hasil wawancara dengan guru mata pelajaran Fisika di SLTP Negeri 14 Kota Jambi, rendahnya hasil belajar fisika salah satunya disebabkan oleh kurangnya pemahaman siswa akan konsep.
Menurut pengamatan penulis, hal ini disebabkan seringkali guru mengajar berdasarkan asumsi bahwa pengetahuan dapat dipindahkan secara utuh dari pikiran guru ke pikiran siswa. Dengan asumsi tersebut, mereka memfokuskan diri pada upaya penuangan pengetahuan ke dalam kepala para siswanya.
Sanjaya (2006) menyatakan bahwa, “Selama ini mata pelajaran IPA tidak dapat mengembangkan kemampuan anak untuk berfikir kritis dan sistematis, karena strategi pembelajaran berfikir tidak digunakan secara baik dalam setiap proses pembelajaran di dalam kelas”.
Menurut Mahardika (2005), kesulitan yang sering terjadi dalam pembelajaran fisika, antara lain:
(1) Banyak memuat hal-hal yang abstrak dan pemahamannya banyak melibatkan kemampuan gambaran mental.
(2) Menjelaskan gejala alam cenderung bersifat verbal sehingga kekurangan dalam berbahasa dapat menimbulkan bias dalam memahami konsep fisikanya sendiri.
(3) Dalam pembelajaran sering hanya menyampaikan produk tanpa memperhatikan proses kejadian sehingga fisika membosankan.
(4) Karena tuntutan materi UAN dan materi tes SPMB banyak guru fisika yang target pengajarannya pada penyelesaian materi bukan pada bagaimana siswa menguasai materi

Sehubungan dengan hal ini, penulis ingin mencoba menerapkan strategi pembelajaran konstruktivisme, yakni merupakan suatu model pembelajaran yang lebih berfokus pada kemampuan siswa sendiri dalam memahami materi ajar.
Konstruktivisme lebih menekankan pembelajaran pada bagaimana menanamkan konsep pada siswa. Sebagaimana prinsip-prinsip dasar konstruktivisme yang dikemukakan Paul dalam Sadirman (2005) yakni :
a. Belajar berarti mencari makna. Makna diciptakan oleh siswa dari apa yang mereka lihat, dengar, rasakan dan alami.
b. Konstruksi makna adalah proses yang terus menerus
c. Belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan fakta, tetapi merupakan pengembangan pemikiran dengan membuat pengertian yang baru. Belajar bukanlah hasil perkembangan tetapi perkembangan itu sendiri. Proses belajar yang sebenarnya terjadai pada waktu selama seseorang dalam keraguan yang merangsang pemikiran lebih lanjut. Situasi ketidakseimbangan adalah situasi yang baik untuk memacu belajar
d. Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman belajar dengan dunia fisik dan lingkungannya
e. Hasil belajar seseorang tergantung pada apa yang telah diketahui sipebelajar (konsep, tujuan, motivasi) yang mempengaruhi interaksi dengan bahan yang dipelajari.

Untuk menambah motivasi siswa dalam belajar, dimana proses pembelajaran menjadi lebih menarik, dapat dibantu dengan media yang menarik pula, seperti dalam hal ini penulis coba menggunakan media cartoon creative. Cartoon creative adalah media dengan gambar-gambar kartun kejadian fisika yang dibuat sendiri oleh guru untuk mempermudah menjelaskan konsep.
Menurut Piaget, anak-anak usia 11 atau 12 tahun masih mengalami kesulitan dalam berpikir abstrak. Sehingga untuk menghindari keterbatasan berpikir, anak perlu diberi gambaran kongkret, agar ia mampu menelaah persoalan.
Diharapkan dengan media cartoon creative, siswa akan lebih termotivasi untuk belajar, lebih mudah memahami konsep yang bersifat abstrak, dan dapat meningkatkan aktivitas dan kreativitas siswa dalam belajar. Sebagaimana fungsi gambar-gambar kartun yang dinyatakan Brown, Lewis, dan Harcleroad (1983) dalam Mahardika (2005), yakni :
Gambar-gambar kartun yang memang sangat digemari oleh anak-anak dapat diasumsikan untuk mengurangi kesulitan dalam pembelajaran fisika, karena gambar kartun dapat difungsikan antara lain untuk:
(1) membantu memahami konsep-konsep yang bersifat abstrak
(2) membantu dalam memahami isi atau makna materi-materi verbal
(3) merangsang minat siswa dalam memahami makna gambar serta keterkaitannya dengan konsep-konsep atau prinsip-prinsip yang lain
(4) merangsang kreativitas

Penelitian ini akan dilakukan pada siswa-siswi kelas Ia semester II SLTP Negeri 14 Kota Jambi dengan judul “Upaya Peningkatan Aktivitas dan Hasil Belajar Siswa Dengan Menggunakan Model Pembelajaran Konstruktivisme Dengan Media Cartoon Creative Pada Pokok Bahasan Gerak dikelas IA SLTP N 14 Kota Jambi”.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Apakah model pembelajaran konstruktivisme dengan media cartoon creative dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa di kelas IA SLTP Negeri 14 Kota Jambi”
3. Batasan Masalah
Suatu penelitian dikatakan baik apabila masalah yang hendak diteliti ada batasannya. Maka dengan demikian untuk menghindari pemahaman yang salah disamping keterbatasan-keterbatasan penulis, maka dirasa perlu membatasi permasalahan dalam penelitian ini, yaitu :
a. Keaktifan siswa yang dimaksud hanya menyangkut kegiatan siswa berupa, memperhatikan penjelasan guru, bertanya, menjawab pertanyaan, mengerjakan soal ke papan tulis dan mengerjakan tugas-tugas yang diberikan.
b. Hasil belajar siswa yang dilihat hanya dari segi aspek kognitif yang diukur dengan melihat hasil tes yang diberikan
4. Tujuan penelitian
Sesuai dengan permasalahan yang diteliti dan informasi yang diharapkan maka penelitian ini bertujuan “Untuk melihat peningkatan aktivitas dan hasil belajar siswa dengan menggunakan model pembelajaran konstruktivisme dengan media cartoon creative”.
5. Manfaat penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini, yaitu :
1. Bagi siswa dengan digunakannya model pembelajaran konstruktivisme dengan media cartoon creative kooperatif, diharapkan dapat lebih memahami konsep dan bersemangat belajar sehingga dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar fisika khususnya pada pokok bahasan gerak.
2. Dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi guru mata pelajaran Fisika khususnya guru di SLTP N 14 Kota Jambi dalam pemilihan model pembelajaran untuk dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa.
3. Bagi sekolah penelitian ini akan memberikan sumbangan pemikiran untuk peningkatan prestasi belajar siswa.
4. Bagi peneliti dengan adanya penelitian ini dapat dijadikan pengalaman dalam meneliti dan mengajar yang bermanfaat untuk diterapkan pada masa yang akan datang.



C. TINJAUAN PUSTAKA
1. Pengertian Belajar
Belajar merupakan suatu proses perubahan tingkah laku sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidup. Hal ini sesuai dengan pendapat Geoch dalam Sadirman (2005) ‘Learning is a change in performance as a result of a practice’ .
Selanjutnya menurut Sardirman (2005), “Belajar itu senantiasa merupakan perubahan tingkah laku atau penampilan, dengan serangkaian kegiatan misalnya membaca, mengamati, mendengarkan, meniru dan lain sebagainya”. Dalam hal ini yang dimaksud belajar berarti usaha mengubah tingkah laku. Jadi belajar akan membawa suatu perubahan pada individu-individu yang belajar. Perubahan itu tidak hanya berkaitan dengan penambahan ilmu pengetahuan, tetapi juga terbentuknya kecakapan, keterampilan, sikap pengertian, harga diri, minat, watak dan penyesuaian diri. Hal ini senada dengan pendapat Gredler (1991) bahwa, ”Belajar adalah proses orang memperoleh berbagai kecakapan, keterampilan dan sikap”.
Dengan demikian dapatlah diartikan bahwa belajar itu pada prinsipnya adalah perubahan tingkah laku baik aspek pengetahuan, keterampilan, maupun sikap, sebagi hasil interaksi dengan lingkungannya.
2. Aktivitas Belajar
Dalam belajar perlu adanya aktivitas, sebab pada prinsipnya belajar itu adalah berbuat untuk mengubah tingkah laku dengan melakukan kegiatan. Menurut Gredler (1991), “Tidak ada belajar kalau tidak ada aktivitas untuk itu” . Dalam proses belajar mengajar, guru perlu menimbulkan aktivitas siswa baik aktivitas fisik maupun mental”. Selanjutnya menurut Sadirman (2001) “Aktivitas belajar itu adalah aktivitas yang bersifat fisik maupun mental dalam belajar”. Aktivitas belajar dapat dikatakan sebagai semua kegiatan yang dilakukan siswa dalam proses belajar.
Aktivitas dalam belajar banyak sekali macamnya, Paul dalam Sadirman (2005) membagi kegiatan/aktivitas belajar dalam delapan kelompok, yaitu :
a. Visual activities
Membaca, melihat gambar-gambar, mengamati eksprerimen, demonstrasi, pameran dan mengamati orang lain kerja dan bermain.
b. Oral Activities)
Mengemukakan suatu fakta atau prinsip, menghubungkan suatu kejadian, mengajukan pertanyaan, memberi saran, mengemukakan pendapat, wawancara, diskusi dan interupsi
c. Listening activities
Mendengarkan penyajian bahan, mendengarkan percakapan atau diskusi kelompok, mendengarkan musik , mendengarkan radio
d. Writing activities
Menulis cerita, menulis laporan, memerikasa karangan, bahan-bahan copy, membuat rangkuman, mengerjakan tes, dan mengisi angket
e. Drawing activities
Menggambar, membuat grafik chart, diagram peta dan pola
f. Motor activities
Melakuka percobaam, memilih alat-alat, melaksanakan pameran, membuat model, menyelenggarakan permainan, menari, dan berkebun
g. Mental activities
Merenungkan, mengingat, memecahkan masalah, menganalisis faktor-faktor, melihat, hubungan-hubungan, dan membuat keputusan
h. Emotional activities
Minat, membedakan, berani, tenang, dan lain-lain.

3. Model Pembelajaran Konstruktivisme
Pandangan umum yang masih dianut guru dan masih berlaku sekarang adalah bahwa dalam proses belajar mengajar pengetahuan diberikan oleh guru dan diterima siswa. Keberhasilan belajar diukur dari sejauh mana siswa dapat menunjukkan bahwa mereka mengungkapkan pengetahuan yang diinginkan oleh guru. Jika yang diungkapkan tidak sesuai dengan yang diinginkan oleh guru maka siswa dianggap tidak belajar. Dengan asumsi ini, maka guru berusaha sangat ektif dalam menyampaikan informasi
Banyak ahli pendidikan mengemukakan pandangan tentang belajar dan mengajar yang berbeda dengan pandangan umum di atas. Salah satunya adalah teori pembelajaran konstruktivisme, yang pada awalnya dicetuskan oleh Piaget dan Vygotsky. Kemudian teori ini telah banyak dikembangkan dan diterapkan para tokoh pendidikan kedalam model pembelajaran konstruktivisme, diantaranya Widodo, Paulina Pannen, Dina Gasong, dll.
Konstruktivisme dalam arti dasar adalah membangun. Dimana yang dibangun adalah konsep/materi yang akan dipelajari, yang mana konsep tesebut dibangun oleh guru dan siswa dalam proses belajar mengajar. Model pembelajaran kostruktivisme disini berarti suatu cara atau strategi dimana individu atau anak didik tidak sekedar mengimitasi dan membentuk bayangan dari apa yang diamati atau yang diajarkan guru, tetapi secara aktif individu atau anak didik itu menyeleksi, menyaring, memberi arti dan menguji kebenaran atas informasi yang diterimanya.
Pengetahuan yang dikonstruksikan individu merupakan hasil interpretasi yang bersangkutan terhadap peristiwa atau informasi yang diterimanya. Menurut model pembelajaran konstruktivisme belajar merupakan proses aktif pembelajar mengkonstruksi arti (teks, pengalaman fisis, dialog dan lain-lain). Belajar juga merupakan proses mengasimilasikan dan menghubungkan pengalaman atau bahan yang dipelajari dengan pengertian yang sudah dipunyai seseorang sehingga pengertiannya dikembangkan.
Widodo (2004) mengidentifikasi lima hal penting yang berkaitan dengan belajar dan mengajar menurut pembelajaran konstruktivisme, yaitu :
a. Pembelajar telah memiliki pengetahuan awal. Tidak ada pembelajar yang otaknya benar-benar kosong. Pengetahuan awal yang dimiliki pembelajar memainkan peran penting saat dia belajar tentang sesuatu hal yang ada kaitannya dengan apa yang telah diketahui.
b. Belajar merupakan proses pengkonstruksian suatu pengetahuan berdasarkan pengetahuan yang telah dimiliki.
c. Belajar adalah perubahan konsepsi pembelajar. Karena pembelajar telah memiliki pengetahuan awal, maka belajar adalah prosses pengubah pengetahuan awal siswa sesuai dengan konsep yang diyakini “benar” atau agar pengetahuan awal siswa bisa berkembang menjadi suatu konstruksi pengetahuan yang lebih besar
d. Proses pengkonstruksian pengetahuan berlangsung dalam suatu konteks sosial tertentu, misalnya suatu lingkungan kelas
e. Pembelajar bertanggung jawab terhadap proses belajarnya. Guru atau siapapun tidak dapat memaksa siswa untuk belajar sebab tidak ada seorangpun yang dapat mengatur proses berpikir seseorang. Guru hanyalah menyiapkan kondisi yang memungkinkan siswa belajar, namun apakah siswa benar-benar belajar tergantung pada diri pembelajar itu sendiri.

Masih dengan topik yang sama, Pannen (2005) mengemukakan peranan seorang pengajar atau guru dalam pembelajaran konstruktivisme yakni berperan sebagai mediator dan fasilitator yang membantu agar proses belajar siswa berjalan dengan baik, yaitu dengan :
1. Menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan siswa bertanggung jawab, memberi ceramah dan menstransfer pengetahuan bukanlah tugas utama seorang guru
2. Menyediakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang siswa dan membantu mereka untuk mengekspresikan gagasannya dan mengkomunikasikan ide ilmiah mereka, menyediakan sarana yang merangsang siswa berpikir produktif, menyediakan kesempatan dan pengalaman belajar yang paling mendukung proses belajar siswa.keingintahuan mereka. Guru perlu menyemangati siswa dan menyediakan pengalaman konflik.
3. Memonitor, mengevaluasi dan menunjukkan apakah pemikiran siswa berjalan atau tidak. Guru menunjukkan dan mempertanyakan apakah pengetahuan siswa dapat diberlakukan untuk menghadapi persoalan baru yang berkaitan.

Agar faktor tersebut berfungsi optimal Pannen (2005) juga menambahkan beberapa hal, yakni :
1. Guru perlu banyak berinteraksi dengan siswa untuk lebih mengerti hal-hal yang sudah diketahui dan dipikirkan siswa
2. Tujuan dan apa yang akan dibuat di kelas sebaiknya dibicarakan bersama sehingga siswa sungguh-sungguh terlibat
3. Guru perlu mengerti pengalaman belajar yang lebih sesuai dengan kebutuhan siswa. Hal ini dapat dilakukan dengan berpartisipasi sebagai pelajar juga ditengah para siswa
4. Diperlukan keterlibatan guru bersama siswa yang sedang belajar dan guru perlu menumbuhkan kepercayaan siswa bahwa mereka dapat belajar
5. Guru perlu mempunyai pemikiran yang fleksibel untuk dapat mengerti dan menghargai pemikiran siswa, karena kadangkala siswa berpikir berdasarkan pengandaian yang belum tentu dapat diterima guru

Ada beberapa perbedaan situasi pembelajaran (dalam kelas) antara model pembelajaran konstruktivisme dengan pembelajaran konvensional, sebagaimana dikemukakan Brooks dan Brooks (1993) dalam Pannen (2005), diantaranya dapat diihat dalam tabel berikut :

Pembelajaran Konvensional
Pembelajaran Konstrukltivisme
Kurikulum harus diikuti sampai habis
Pertanyaan siswa dan konstruksi jawaban siswa adalah penting
Kegiatan pembelajaran hanya berdasarkan buku teks yang sudah ditentukan
Kegiatan pembelajaran berlandaskan beragam sumber informasi primer dan materi-materi yang dapat dimanipulasi langsung oleh siswa
Siswa dilihat sebagai ember kosong tempat ditumpahkannya semua pengetahuan dari guru
Siswa dilihat sebagai pemikir yang mampu menghasilkan teori-teori tentang dunia dan kehidupan
Guru mengajar dan meyebarkan informasi keilmuan kepada siswa
Guru bersikap interaktif dalam pembelajaran, menjadi fasilitator dan mediator dari lingkungan bagi siswa dalam proses belajar
Guru selalu mencari jawaban yang benar untuk memvalidasi proses belajar siswa
Guru mencoba mengerti persepsi siswa agar adapat melihat pola pikir siswa dan apa yang sudah diperoleh siswa untuk pembelajaran selanjutnya
Penilaian trhadap proses belajar siswa merupakan bagian terpisah dari pembelajaran, dan dilakukan hamper selalu dalam bentuk ter/ujian
Penilaian terhadap proses belajar siswa merupakan bagian integral dalam pembelajaran, dilakukan



Untuk dapat menerapkan model pembelajaran konstruktivisme di dalam kelas diperlukan suatu langkah-langkah pembelajaran, menurut Widodo (2004) model pembelajaran konstruktivisme terdiri dari lima tahapan yang saling berurutan. Tahapan-tahapan tersebut antara lain :
1. Pendahuluan : Tahap penyiapan pembelajar untuk mengikuti kegiatan pembelajaran.
2. Eksplorasi : Tahap pengidentifikasian dan pengaktifan pengetahuan awal pembelajar.
3. Restrukturisasi : Tahap restrukturisasi pengetahuan awal pembelajar agar terbentuk konsep yang diharapkan
4. Aplikasi : Tahap penerapan konsep yang telah dibangun pada konteks/kondisi yang berbeda ataupun dalam kehidupan sehari-hari
5. Review dan evaluasi : Tahap peninjauan kembali apa yang terjadi pada diri pembelajar berkaitan dengan suatu konsep/pembelajaran

Senada dengan Widodo, Gasong menjabarkan beberapa langkah-langkah yang dapat didesain dalam pembelajaran konstruktivisme, yaitu :
Pertama, identifikasi prior knowledge dan miskonsepsi. Identifikasi awal terhadap gagasan intuitif yang mereka miliki terhadap lingkungannya, dijaring untuk mengetahui kemungkinan-kemungkinan akan munculnya miskonsepsi yang menghinggapi struktur kognitif siswa. Identifikasi ini dapat dilakukan dengan interview atau tanya jawab
Kedua, orientasi dan eksplorasi, situasi pembelajaran yang kondusif dan mengasyikkan sangatlah perlu diciptakan pada awal-awal pembelajaran untuk membangkitkan minat mereka terhadap topic yang akan dibahas. Siswa dituntun agar mereka mau mengemukakan gagasan intuitifnya sebanyak mungkin tentang gejala-gejala fisika yang mereka amati dalam lingkungan hidupnya sehari-hari. Suasana pembelajaran dibuat santai dan tidak menakutkan agar siswa tidak khawatir dicemooh dan ditertawakan bila gagasan-gagasannya salah. Guru harus menahan diri untuk tidak menghakiminya. Kebenaran akan gagasan siswa akan terjawab dan terungkap dengan sendirinya melalui penalarannya dalam tahap konflik kognitif.
Ketiga, resrtukturisasi ide, (a) tantangan, siswa diberikan pertanyaan-pertanyaan tentang gejala-gejala yang kemudian dapat diselidiki atau dibuktikan kebenarannya. Mereka diminta untuk meramalkan hasil penalarannya dan memberikan alasan untuk mendukung ramalannya itu. (b) konflik kognitif dan diskusi kelas. Siswa akan dapat melihat sendiri apakah ramalan mereka benar atau salah. Mereka didorong untuk menguji keyakinan dengan melakukan percobaan atau mencari sumber yang kompeten. Bila ramalan mereka meleset, mereka akan mengalami konflik kognitif dan mulai tidak puas dengan gagasan mereka. Kemudian mereka didorong untuk memikirkan penjelasan paling sederhana yang dapat menerangkan sebanyak mungkin gejala yang telah mereka lihat. Usaha untuk mencari penjelasan ini dilakukan dengan proses konfrontasi melalui diskusi dengan teman atau guru yang pada kapasistasnya sebagai fasilitator dan mediator. (c) membangun ulang kerangka konseptual. Siswa dituntut untuk menemukan sendiri bahwa konsep-konsep yang baru itu memiliki konsistensi internal. Menunjukkan bahwa konsep ilmiah yang baru itu memiliki keunggulan dari gagasan yang lama.
Keempat, aplikasi. Menyakinkan siswa akan manfaat untuk beralih konsepsi dari miskonsepsi menuju konsepsi ilmiah. Menganjurkan mereka untuk menerapkan konsep ilmiahnya tersebut dalam berbagai macam situasi untuk memecahkan masalah yang instruktif dan kemudia menguji penyelesaian secara empiris. Mereka akan mampu membandingkan secara eksplisit miskonsepsi mereka dengan penjelasa secara keilmuan.
Kelima, review dilakukan untuk meninjau keberhasilan strategi pembelajaran yang telah berlangsung dalam upaya mereduksi miskonsepsi yang muncul pada awal pembelajaran. Revisi terhadap strategi pembelajaran dilakukan bila miskonsepsi yang muncul kembali bersifat sangat resisten. Hal ini penting dilakukan agar miskonsepsi yang resisten tersebut tidak selamanya menghinggapi struktur kognitif, yang pada akhirnya akan bermuara pada kesulitan belajar dan rendahnya prestasi siswa bersangkutan

4. Manfaat media pendidikan dalam proses belajar mengajar
Penggunaan media seharusnya menjadi suatu kebutuhan dalam kegiatan pembelajaran, karena mampu menyampaikan informasi yang dikemukakan dengan lebih efektif, sebagaimana fungsi utamanya yang dikemukakan Arsyad (2005) “…sebagai alat bantu mengajar yang turut mempengaruhi iklim, kondisi, dan lingkungan belajar yang ditata dan diciptakan guru”.
Melalui penggunaan media, siswa dapat belajar sendiri untuk mencapai hasil belajar yang baik. Media pendidikan dapat membantu merangsang siswa dan guru sehingga tidak membosankan. Guru dapat menentukan metode pengajaran dalam situasi yang berlainan dan menciptakan iklim emosional yang sehat diantara siswa-siswanya.
Sehubungan manfaat penggunaan media, Hamalik dalam Arsyad (2005) mengemukakan bahwa, ‘Pemakaian media pembelajaran dalam proses belajar mengajar dapat membangkitkan keinginan dan minat yang baru, membangkitkan motivasi dan rangsangan-rangsangan kegiatan belajar dan bahkan membawa pengaruh-pengaruh psikologis terhadap siswa’.
Encyclopedia of Educational Research dalam Arsyad (2005) merincikan manfaat media pendidikan sebagai berikut :
a. Meletakkan dasar-dasar yang konkret untuk berfikir, oleh karena itu mengurangi verbalisme.
b. Memperbesar perhatian siswa.
c. Meletakkan dasar-dasar yang penting untuk perkembangan belajar, oleh karena itu membuat pelajaran mantap
d. Memberikan pengalaman nyata yang dapat menumbuhkan kegiatan berusaha sendiri dikalangan siswa
e. Menumbuhkan pemikiran teratur yang kontinyu, terutama melalui gambar hidup
f. Membantu tumbuhnya pengertian yang dapat membantu perkembangan kemampuan bahasa.
g. Memberikan pengalaman yang tidak mudah diperoleh dengan cara lain, dan membantu efisiensi dan keragaman yang lebih banyak dalam belajar.
Dari pernyataan-pernyataan diatas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa media pengajaran mempunyai peranan yang penting dalam kegiatan pembelajaran karena materi pelajaran yang masih terasa abstrak dapat diwujudkan dalam bentuk nyata, yang mudah dipahammi, sehingga membantu dalam menciptakan pembelajaran efektif

5. Media cartoon creative
Agar belajar fisika tidak mudah jenuh atau membosankan maka diperlukan suatu media yang menarik dan mudah diperoleh artinya dapat membuatnya sendiri. Dalam hal ini penulis menggunakan gambar-gambar kartun peristiwa fisika untuk mempermudah menjelaskan konsep-konsep fisika, yang selanjutnya penulis sebut cartoon creative.
Perlu ditekankan bahwa cartoon creative ini berbeda dengan komik, karena tidak selalu membentuk serangkaian cerita yang berkesinambungan dan kata-kata yang terstruktur.. Kita dapat membuat atau memilih gambar kartun yang sesuai dengan materi pelajaran yang sedang kita bahas. Keabstrakan dari materi fisika dituangkan dalam gambar kartun sehingga siswa lebih mudah memahami dan retensi ingatannya cukup lama.
Menurut Brown, Lewis, dan Harclerod dalam Mahardika (2007), Gambar kartun fisika dalam pembelajaran dapat difungsikan antara lain untuk:
a. Membantu memahami konsep yang bersifat abstrak;
b. Membantu dalam memahami makna materi yang verbal;
c. Merangsang minat siswa dalam memahami gambar serta keterkaitannya dengan konsep-konsep; dan
d. Merangsang kreativitas

D. METODE PENELITIAN
1. Jenis penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (Classroom action research). Penelitian tindakan kelas (PTK) adalah penelitian yang merupakan perpaduan antara tindakan (action) dan penelitian (research) yang dilakukan guru didalam kelas.
Penelitian tindakan kelas merupakan penelitian yang menuntut kita untuk tidak hanya melihat hasil penelitian (pengolahan data) saja. Tetapi penelitian ini juga menuntut kita untuk melihat keberhasilan proses belajar mengajar.
2. Subjek penelitian
Subjek penelitian adalah siswa kelas 1A SLTP N SLTP Negeri 14 Kota Jambi yang terdaftar pada semester II tahun ajaran 2007/2008
3. Prosedur Penelitian
Penelitian ini direncanakan untuk dilakukan dalam beberapa siklus. Menurut Sugiyanto (1999) dalam penelitian tindakan kelas (Classroom Action Research) terdiri dari :
  1. Perencanaan atau persiapan tindakan (planning)
  2. Pelaksanaan tindakan (Action)
  3. Observasi dan evaluasi
  4. Analisis dan refleksi (Reflection)
3.1.. Perencanaan atau Persiapan Tindakan (planning)
Hal-hal yang dilakukan dalam persiapan tindakan ini antara lain :
  1. Membuat satuan program pembelajaran
  2. Membuat rencana program pembelajaran
  3. Mempersiapkan alat-alat pendukung yang diperlukan sesuai dengan rencana program pembelajaran
  4. Menyiapkan lembar observasi aktivitas guru
  5. Menyiapkan lembar observasi aktivitas siswa
  6. Mendesain alat evaluasi berupa soal tes dan kunci jawaban
3.2. Pelaksanaan Tindakan (acting)
Setelah semua persiapan tindakan selesai maka langkah selanjutnya adalah pelaksana tindakan. Dalam pelaksanaan ini pembelajaran dilaksanakan sesuai dengan skenario pembelajaran yang telah disiapkan pada persiapan tindakan. Secara umum tahapan pelaksanaan tindakan ini antara lain :
  1. Membuat suasana belajar mengajar sebaik mungkin
  2. Memberikan semangat dan motivasi siswa untuk belajar.
  3. Melaksanakan kegiatan inti sesuai dengan RPP yang telah disiapkan
  4. Melakukan evaluasi
  5. Menganalisis hasil evaluasi
  6. Merefleksi pelaksanaan tindakan untuk menentukan perbaikan pada kegiatan pembelajaran pada siklus berikutnya.
3.3. Observasi dan Evaluasi
Observasi adalah cara yang digunakan untuk mengadakan penilaian dengan jalan mengadakan pengamatan secara langsung dan sistematis. Pemantauan terhadap pembelajaran menggunakan lembar pengamatan alat bantu catatan-catatan yang hasilnya digunakan untuk menentukan jenis tindakan perbaikan pada siklus berikutnya.
Evaluasi dilakukan untuk mengetahui hasil yang telah dicapai dari proses pelaksanaan tindakan.Hasil yang dimaksud dapat berupa perubahan kinerja guru dan hasil belajar siswa. Evaluasi dilaksanakan pada saat proses kegiatan belajar mengajar berlangsung dan pada stiap akhir siklus dengan memberikan tes akhiruntuk melihat tingkat keberhasilan yang telah diperoleh siswa dalam memahami materi pelajaran yang diberikan.
3.4. Analisis dan Refleksi (reflecting)
Hasil analisis dan refleksi akan menentukan apakah tindakan yang dilakukan dapat mengatasi masalah. Jika hasilnya belum seperti yang diharapkan maka masalah yang ada belum ada terselesaikan. Akan diadakan perbaikan dilakukan berdasarkan hasil refleksi yang terlihat pada siklus berikutnya.

3.5. Teknik Pengumpulan Data
3..5.1 . Jenis Data.
Jenis data yang diambil dalam penelitian ini berupa :
  1. Data kualitatif yaitu data tentang aktifitas siswa dan guru dalam proses belajar mengajar
  2. Data kuantitatif yaitu data tentang hasil tes siswa setiap siklus.
3..5.2. Cara Pengambilan Data.
Data tentang situasi pengajaran diambil dengan menggunakan lembar observasi. Sedangkan data tentang hasil belajar diambil dengan memberikan tes pada setiap akhir siklus.


3.6 Pengolahan Data
Proses perhitungan data hasil belajar siswa diperoleh dari hasil pemberian tes pada tahap evaluasi, dimana soal-soal berbentuk objektif dengan empat alternatif pilihan. Untuk menganalisis data digunakan rumus yang dikemukan oleh Nurkencana (2001).
S =
Keterangan :
S = Skor
R = Jumlah jawaban yang benar
W = Jumlah jawaban yang salah
Wt = Weight / bobot soal
n = Jumlah option
Sedangkan untuk menganalisis hasil observasi mengenai aktifitas belajar siswa digunakan rumus berikut :
A =
Keterangan :
A = Aktifitas belajar siswa
Na = Jumlah siswa yang aktif
N = Jumlah siswa keseluruhan

0 - 20% = Tidak aktif
20 – 40%= Kurang aktif
40 – 60 % = Cukup aktif
60 -80 % = Aktif
80 -100 %=Sangat aktif
3.7 Indikator Keberhasilan
Indikator yang digunakan untuk mengetahui keberhasilan belajar tindakan adalah hasil belajar yang diperoleh siswa. Tahap keberhasilan belajar dihitung berdasarkan kemampuan dalam menyelesaikan soal-soal mengenai materi pelajaran tersebut.
Menurut parmin (1999) indikator keberhasilan siswa adalah sebagai berikut :
  1. Seorang siswa dinyatakan berhasil dalam belajar apabila daya serapnya sekurang-kurangnya 65 %.
  2. Suatu kelas dianggap berhasil dalam belajar apabila sekurang-kurangnya 85 % siswa di kelas tersebut telah mencapai daya serap 65 %.
3,.8 Instrumen Penelitian
Instrument yang digunakan untuk mengumpul data adalah soal-soal tes tersebut berbentuk objektif dengan empat alternative pilihan. Agar tes yang digunakan berkualitas, soal tes di uji coba terlebih dahulu kemudian dilakukan analisis item. Analisis ini digunakan untuk mengetahui : validitas, taraf kesukaran, daya pembeda dan reliabilitas
3.8.1 Validitas
Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat-tingkat kevalidan atau keabsahan suatu instrumen (Arikunto:2000). ). Suatu alat pengukur dapat dikatakan alat pengukur yang valid apabila alat pengukur tersebut dapat mengukur yang hendak diukur dengan tepat. Misalnya tes hasil belajar, dapat dikatakan valid apabila dapat mengukur hasil belajar siswa. . Secara umum ada 4 macam validitas yang digunakan dalam menyusun instrumen (Arikunto:1993), yaitu validitas isi (content validity), validitas konstruksi (contrak validity), validitas prediksi (predictive validity), dan validitas ada sekarang (concurrent validity). Dalam penelitian ini penulis menggunakan validitas isi, yaitu untuk menguji ketepatan isi dan keabsahan soal sebagai instrumen penelitan sehingga data yang diperoleh dari hasil tes tersebut dapat dipercaya kebenarannya. Oleh sebab itu penulis membuat kisi-kisi soal tes yang sesuai dengan materi yang telah diberikan berdasarkan kurikulum SMP
3.8.2 Taraf Kesukaran
Soal yang baik adalah soal yang tidak terlalu sukar dan tidak terlalu mudah. Soal yang terlalu mudah tidak merangsang siswa untuk mempertinggi siswa memecahkannya, sedangkan soal yang terlalu sukar akan menyebabkan siswa menjadi putus asa dan tidak mempunyai semangat untuk mencoba lagi. Menghitung tingkat kesukaran tes adalah mengukur berapa besar butir-butir soal tes. Jika suatu tes memiliki tingkat kesukaran seimbang maka tes tersebut baik. Dengan kata lain suatu butir soal hendaknya tidak terlalu sukar dan tidak terlalu mudah. Untuk mengetahui seberapa besar tingkat kesukaran dapat dihitung dengan menggunakan rumus :
P = (Arikunto,2003)
Keterangan :
P = Indeks kesukaran
B = Banyaknya siswa yang menjawab benar
JS = Jumlah seluruh peserta tes
Kriteria :
0,00 ‹ P ≤ 0,30 sukar
0,30 ‹ P ≤ 0,70 sedang
0,70 ‹ P ≤ 1,00 mudah
3.8.3 Daya Pembeda
Menurut Arikunto (1987), “ daya pembeda soal adalah kemampuan suatu soal untuk membedakan antara siswa yang pandai dengan siswa yang kurang pandai”. Angka yang menunjukkan besarnya daya pembeda soal disebut indeks diskriminasi (D). Indeks diskriminasi dapat ditentukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut ini:
D =-= PA-PB
Keterangan :
D = Daya pembeda
Ja = Jumlah siswa tes kelompok atas
Jb = Jumlah siswa tes kelompok bawah
Ba = Jumlah siswa kelompok atas menjawab benar
Bb = Jumlah siswa kelompok bawah menjawab benar
PA = proporsi kelompok atas yang menjawab benar
PB = proporsi kelompok bawah yang menjawab benar
Kriteria :
0,00 ‹ D ≤ 0,20 jelek
0,20 ‹D ≤ 0,40 cukup
0,40 ‹ D ≤ 0,70 baik
0,70 ‹ D ≤ 1,00 baik sekali
3.8.4 Reliabilitas Tes
Reliabilitas merupakan tingkat kepercayaan terhadap suatu instrumen sebagai alat pengumpul data, instrumen yang reliabel akan menghasilkan data yang dapat dipercaya dan mantap.
Reliabilitas berhubungan dengan ketepatan suatu alat ukur (Arikunto,2003). Reliabilitas tes menunjukkan apakah suatu tes cukup baik untuk dipergunakan sebagai alat pengumpul data yang dapat dipercaya. Untuk menentukan reliabilitas tes digunakan rumus Kuder-Richardson (K-R 21).
r11 =
Dengan :
St2 =
M =
Keterangan :
r11 = Reliabilitas yang dicari
n = Jumlah Soal
M =Nilai rata-rata kelas sampel
St2 =Varians sampel
X = Jumlah skor yang dijawab benar seluruh siswa
N = Jumlah peserta tes
∑X2 = Jumlah skor total yang dikuadratkan
(∑X)2 = Nilai pengkuadratan jumlah skor total
Dengan kriteria :
0,0 ≤ r11 ≤ 0,2 reliabilitas sangat rendah
0,2 ≤ r11 ≤ 0,4 reliabilitas rendah
0,4 ≤ r11 ≤ 0,6 reliabilitas cukup
0,6 ≤ r11 ≤ 0,8 reliabilitas tinggi
0,8 ≤ r11 ≤ 1,0 reliabilitas sangat tinggi.
Arsyad, Azhar. 2005. Media Pembelajaran. Raja Grafindo Persada. Jakarta
Arikunto, Suharsimi. 2003. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Bumi Aksara. Jakatra
Budiningsih, Asri. Belajar dan Pembelajaran. Asdi Mahasatya. Jakarta
Depdiknas. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi Mata Pelajaran Fisika untuk
SLTP dan Madrasah Tsanawiyah.
Gasong, Dina. Model Pembelajaran Konstruktivistik Sebagai Alternative Mengatasi Masalah Pembelajaran,
Gredler, Margaret. 1991. Belajar dan membelajarkan. Rajawali. Jakarta
Gonnick, larry dan Art Huffman, 2001, Kartun Fisika, Kepustakaan Popular Gramedia, Jakarta.
Mahardika, I ketut. 2007 Membekali Kemampuan Mahasiswa Fisika Dalam Mengevaluasi Kemampuan Belajar Siswa Dengan Model Tes Bergambar Kartun Kejadian Fisika. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. no 060 tahun ke-13 hal 10-15. LPTK dan ISP. Jakarta
Pannen, Paulina. 2005. Konstruktivisme Dalam Pembelajaran. Pusat Antar Universitas Untuk Peningkatan Dan Pengembangan Aktivitas Instruksional Direktorat Jenderal Pendiikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional
Parmin. 1999. Sistem Penilaian. Buletin Pelangi pendidikan. Sumatera selatan
Sanjaya, wina. 2006. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Kencana . Jakarta
Sadirman, AM. 2005. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Raja Grafindo Persada. Jakarta
Subrotosuryo. 2002. Proses Belajar Mengajar Di Sekolah. Rineka Cipta. Jakarta
Widodo, Ari. 2007. Konstruktivisme dan Pembelajaran Sains. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. No 064 Tahun ke-13 hal 91-105. LPTK dan ISP. Jakarta

Artikel Yang Perlu Anda Baca



0 komentar: