Jumat, 21 Agustus 2009

pembelajaran efektif

The Best Business
Makalah Gratis
Unbari
Unja
Model Pembelajaran Afektif (Sikap) dan Psikomotor

Belajar dipandang sebagai upaya sadar seorang individu untuk memperoleh perubahan perilaku secara keseluruhan, baik aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Namun hingga saat ini dalam praktiknya, proses pembelajaran di sekolah tampaknya lebih cenderung menekankan pada pencapaian perubahan aspek kognitif (intelektual), yang dilaksanakan melalui berbagai bentuk pendekatan, strategi dan model pembelajaran tertentu. Sementara, pembelajaran yang secara khusus mengembangkan kemampuan afektif tampaknya masih kurang mendapat perhatian. Kalaupun dilakukan mungkin hanya dijadikan sebagai efek pengiring (nurturant effect) atau menjadi hidden curriculum, yang disisipkan dalam kegiatan pembelajaran yang utama yaitu pembelajaran kognitif atau pembelajaran psikomotor.
Secara konseptual maupun emprik, diyakini bahwa aspek afektif memegang peranan yang sangat penting terhadap tingkat kesuksesan seseorang dalam bekerja maupun kehidupan secara keseluruhan. Meski demikian, pembelajaran afektif justru lebih banyak dilakukan dan dikembangkan di luar kurikulum formal sekolah. Salah satunya yang sangat populer adalah model pelatihan kepemimpinan ESQ ala Ari Ginanjar.
Kemampuan afektif berhubungan dengan minat dan sikap yang dapat berbentuk tanggung jawab, kerjasama, disiplin, komitmen, percaya diri, jujur, menghargai pendapat orang lain, dan kemampuan mengendalikan diri. Semua kemampuan ini harus menjadi bagian dari tujuan pembelajaran di sekolah, yang akan dicapai melalui kegiatan pembelajaran yang tepat.
Masalah afektif dirasakan penting oleh semua orang, namun implementasinya masih kurang.
Pembelajaran afektif berbeda dengan pembelajaran intelektual dan keterampilan, karena segi afektif sangat bersifat subjektif, lebih mudah berubah, dan tidak ada materi khusus yang harus dipelajari. Hal-hal diatas menuntut penggunaan metode mengajar dan evaluasi hasil belajar yang berbeda dari mengajar segi kognitif dan keterampilan. Sedangkan psikomotor hanya mengarah pada memahami, mengetahui dan merefleksikan pada tidakan seperti menjawab pertanyaan, protes dan melangkah kedepan untuk mengkritik seseorang.
Psikomotor hanyalah sebuah sikap dan segala refleksinya. Siswa yang kemampuan psikomotornya rendah walaupun mempunya banyak gagasan dan ide namun tidak mampu mengutarakan ide tersebut dikarenakan dia terbiasa menuangkannya pada secarik kertas, buikan pada sikap.
Ada beberapa model pemebelajaran afektif. Merujuk pada pemikiran Nana Syaodih Sukmadinata (2005) akan dikemukakan beberapa model pembelajaran afektif yang populer dan banyak digunakan.

1. Model Konsiderasi

Manusia seringkali bersifat egoistis, lebih memperhatikan, mementingkan, dan sibuk dan sibuk mengurusi dirinya sendiri. Melalui penggunaan model konsiderasi (consideration model) siswa didorong untuk lebih peduli, lebih memperhatikan orang lain, sehingga mereka dapat bergaul, bekerja sama, dan hidup secara harmonis dengan orang lain.
Langkah-langkah pembelajaran konsiderasi:
• menghadapkan siswa pada situasi yang mengandung konsiderasi
• meminta siswa menganalisis situasi untuk menemukan isyarat-isyarat yang tersembunyi berkenaan dengan perasaan, kebutuhan dan kepentingan orang lain
• siswa menuliskan responsnya masing-masing
• siswa menganalisis respons siswa lain
• mengajak siswa melihat konsekuesi dari tiap tindakannya
• meminta siswa untuk menentukan pilihannya sendiri

2. Model pembentukan rasional

Dalam kehidupannya, orang berpegang pada nilai-nilai sebagai standar bagi segala aktivitasnya. Nilai-nilai ini ada yang tersembunyi, dan ada pula yang dapat dinyatakan secara eksplisit. Nilai juga bersifat multidimensional, ada yang relatif dan ada yang absolut. Model pembentukan rasional (rational building model) bertujuan mengembangkan kematangan pemikiran tentang nilai-nilai.
Langkah-langkah pembelajaran rasional:
• menigidentifikasi situasi dimana ada ketidakserasian atu penyimpangan tindakan
• menghimpun informasi tambahan
• menganalisis situasi dengan berpegang pada norma, prinsip atu ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam masyarakat
• mencari alternatif tindakan dengan memikirkan akibat-akibatnya,
• mengambil keputusan dengan berpegang pada prinsip atau ketentuen-ketentuan legal dalam masyarakat

3. Klarifikasi nilai

Setiap orang memiliki sejumlah nilai, baik yang jelas atau terselubung, disadari atau tidak. Klarifikasi nilai (value clarification model) merupakan pendekatan mengajar dengan menggunakan pertanyaan atau proses menilai (valuing process) dan membantu siswa menguasai keterampilan menilai dalam bidang kehidupan yang kaya nilai. Penggunaan model ini bertujuan, agar para siwa menyadari nilai-nilai yang mereka miliki, memunculkan dan merefleksikannya, sehingga para siswa memiliki keterampilan proses menilai.
Langkah-langkah pembelajaran klasifikasi nilai:
• pemilihan: para siswa mengadakan pemilihan tindakan secara bebas, dari sejumlah alternatif tindakan mempertimbangkan kebaikan dan akibat-akibatnya
• mengharagai pemilihan: siswa menghargai pilihannya serta memperkuat-mempertegas pilihannya
• berbuat: siswa melakukan perbuatan yang berkaitan dengan pilihannya, mengulanginya pada hal lainnya

4. Pengembangan moral kognitif
Perkembangan moral manusia berlangsung melalui restrukturalisasi atau reorganisasi kognitif, yang yang berlangsung secara berangsur melalui tahap pra-konvensi, konvensi dan pasca konvensi. Model ini bertujuan membantu siswa mengembangkan kemampauan mempertimbangkan nilai moral secara kognitif.
Langkah-langkah pembelajaran moral kognitif
• menghadapkan siswa pada suatu situasi yang mengandung dilema moral atau pertentangan nilai
• siswa diminta memilih salah satu tindakan yang mengandung nilai moral tertentu,
• siswa diminta mendiskusikan/ menganalisis kebaikan dan kejelekannya,
• siswa didorong untuk mencari tindakan-tindakan yang lebih baik,
• siswa menerapkan tindakan dalam segi lain.

5. Model nondirektif
Para siswa memiliki potensi dan kemampuan untuk berkembang sendiri. Perkembangan pribadi yang utuh berlangsung dalam suasana permisif dan kondusif. Guru hendaknya menghargai potensi dan kemampuan siswa dan berperan sebagai fasilitator/konselor dalam pengembangan kepribadian siswa. Penggunaan model ini bertujuan membantu siswa mengaktualisasikan dirinya.
Langkah-langkah pembelajaran nondirekif:
(1) menciptakan sesuatu yang permisif melalui ekspresi bebas,
(2) pengungkapan siswa mengemukakan perasaan, pemikiran dan masalah-masalah yang dihadapinya,guru menerima dan memberikan klarifikasi,
(3) pengembangan pemahaman (insight), siswa mendiskusikan masalah, guru memberrikan dorongan,
(4) perencanaan dan penentuan keputusan, siswa merencanakan dan menentukan keputusan, guru memberikan klarifikasi,
(5) integrasi, siswa memperoleh pemahaman lebih luas dan mengembangkan kegiatan-kegiatan positif.
Satuan pendidikan harus merancang kegiatan pembelajaran yang tepat agar tujuan pembelajaran afektif dapat dicapai. Keberhasilan pendidik melaksanakan pembelajaran ranah afektif dan keberhasilan peserta didik mencapai kompetensi afektif perlu dinilai.

(September 15 04 2009 — Wahidin)
Pembelajaran yang efektif mempunyai karakteristik bagi siswa untuk melihat, mendengarkan, mendemonstrasikan, bekerja sama, menemukan sendiri, dan membangun konsep sendiri. Karena hasil penelitian menyebutkan bahwa pengalaman belajar 10% diambil dari apa yang kita dengar, 20% dari yang kita baca, 30% dari yang kita lihat, 50% dari yang kita lihat dan dengar, 70% dari yang kita katakan, dan 90% dari yang kita katakan dan lakukan. Suasana pembelajaran yang efektif menurut PP 19 tahun 2005 SNP menyebutkan bahwa suasana belajar di kelas itu harus interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, inovatif dan discover (menemukan sendiri). Untuk itu memenuhi tuntutan pembelajaran yang efektif, maka munculah model pembelajaran CTL (Contextual Teaching and Learning).
Model pembelajaran CTL memungkinkan untuk lebih membentuk pemikiran anak usia 15 tahun ke bawah. Tujuh pilar CTL antara lain
1. Constructivism
2. Questioning
3. Inquiry
4. Learning community
5. Authentic assessment
6. Reflection
7. Modeling
Konstruktivisme (Constructivism), yaitu siswa belajar sedikit demi sedikit dari konteks terbatas kemudian siswa mengkonstuk (membangun) pemahamannya. Pemahaman yang mendalam diperoleh melalui pengalaman belajar yang bermakna. Sifat pembelajaran ini siswa lebih sering mencoba, berani salah, dan selaras.
Questioning atau bertanya, yaitu mendorong siswa untuk mengetahui sesuatu, mengarahkan siswa untuk memperoleh informasi, digunakan untuk menilai dan melatih kemampuan siswa dalam berfikir kritis.
Penemuan (Inquiry), yaitu siklus yang terdiri dari mengamati, bertanya, mengananalisis dan merumuskan teori, baik perorangan maupun kelompok. Diawali dengan pengamatan, lalu berkembang untuk memahami konsep/fenomena. Model ini memungkin siswa untuk mengembangkan dan menggunakan ketrampilan berfikir kritis.
Learning community atau masyarakat belajar, yaitu memungkin siswa berbicara dan berbagi pengalaman dengan orang lain, bekerjasama dengan orang lain untuk menciptakan pembelajaran yang lebih baik dibandingkan dengan belajar sendiri.
Pemodelan (modeling), yaitu membahaskan gagaasan yang kita pikirkan, mendemostrasikan bagaimana kita menginginkan para siswa untuk belajar, dan melakukan apa yang kita inginkan agar siswa melakukannya.
Authentic assessment atau penilaian yang sebenarnya, menilai dengan berbagai cara dan dari berbagai sumber, mengukur pengetahuan dan ketrampilan siswa, mempersyaratkan penerapan pengetahuan atau pengalaman, tugas-tugas yang konstektual dan relevan, dan proses dan produk kedua-duanya dapat diukur.
Refleksi (reflection), merupakan cara-cara berpikir tentang apa yang telah kita pelajari, menelaah dan merespon terhadap kejadian, aktifitas dan pengalaman, serta mencatat apa yang kita pelajari, bagaimana kita merasakan ide-ide baru.
Dengan adanya pembelajaran dengan model CTL diharapkan siswa dapat belajar secara efektif dan menyenangkan sehingga dapat memenuhi standar kelulusan yang telah ditentukan oleh BSNP.
(ratihdenok@gmail.com)

Hasil belajar menurut Bloom (1976) mencakup prestasi belajar, kecepatan belajar, dan hasil afektif. Andersen (1981) sependapat dengan Bloom bahwa karakteristik manusia meliputi cara yang tipikal dari berpikir, berbuat, dan perasaan. Tipikal berpikir berkaitan dengan ranah kognitif, tipikal berbuat berkaitan dengan ranah psikomotor, dan tipikal perasaan berkaitan dengan ranah afektif. Ranah afektif mencakup watak perilaku seperti perasaan, minat, sikap, emosi, atau nilai. Ketiga ranah tersebut merupakan karakteristik manusia sebagai hasil belajar dalam bidang pendidikan.
Menurut Popham (1995), ranah afektif menentukan keberhasilan belajar seseorang. Orang yang tidak memiliki minat pada pelajaran tertentu sulit untuk mencapai keberhasilan belajar secara optimal. Seseorang yang berminat dalam suatu mata pelajaran diharapkan akan mencapai hasil pembelajaran yang optimal. Oleh karena itu semua pendidik harus mampu membangkitkan minat semua peserta didik untuk mencapai kompetensi yang telah ditentukan. Selain itu ikatan emosional sering diperlukan untuk membangun semangat kebersamaan, semangat persatuan, semangat nasionalisme, rasa sosial, dan sebagainya. Untuk itu semua dalam merancang program pembelajaran, satuan pendidikan harus memperhatikan ranah afektif.
Keberhasilan pembelajaran pada ranah kognitif dan psikomotor dipengaruhi oleh
kondisi afektif peserta didik. Peserta didik yang memiliki minat belajar dan sikap positif terhadap pelajaran akan merasa senang mempelajari mata pelajaran tertentu, sehingga dapat mencapai hasil pembelajaran yang optimal. Walaupun para pendidik sadar akan hal ini, namun belum banyak tindakan yang dilakukan pendidik secara sistematik untuk meningkatkan minat peserta didik. Oleh karena itu untuk mencapai hasil belajar yang optimal, dalam merancang program pembelajaran dan kegiatan pembelajaran bagi peserta didik, pendidik harus memperhatikan karakteristik afektif peserta didik.
Sedangkan pembelajaran aktif menurut Hisyam Zaini, Bermawy Munthe & Sekar Ayu Aryani (2007:xvi) adalah suatu pembelajaran yang mengajak peserta didik untuk belajar secara aktif. Ketika peserta didik belajar dengan aktif, berarti mereka yang mendominasi aktifitas pembelajaran.
Dalam proses belajar mengajar agar didapatkan suatu hasil yang maksimal maka diperlukan suatu teknik pembelajaran yang efisien dan afektif sehingga tidak mengahabiskan waktu yang lama dan bertele-tele yang kadang hasilnya kurang memuaskan, apalagi untuk siswa didik yang mengikuti program akselerasi yang waktu belajarnya relatif lebih cepat dibanding dengan siswa didik yang duduk di kelas regular

Artikel Yang Perlu Anda Baca



0 komentar: